INDONESIA
Manarmakeri
Manarmakeri adalah tokoh utama dalam sebuah mitos (bukan legenda atau
dongeng) di daerah Biak,
Papua. Mitos Manarmakeri mempunyai
latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang
benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang ajaib, dan tokohnya
(Manarmakeri) adalah Dewa.
Mitos ini telah tersebar
di seluruh tanah Papua sejak dulu. Ada sebuah keyakinan dari masyarakat penutur
mitos ini bahwa seperti janjinya, Manarmakeri akan kembali suatu
saat. Sampai hari ini, masih dinantikan kedatangan Manarmakeri di daerah
penutur cerita maupun di seluruh Papua.
Cerita
serupa yang tergolong mitos terdapat di tiap suku di tanah Papua. Cerita-cerita
ini membuat rakyat Papua tetap eksis untuk hidup di tengah berbagai persoalan
dengan harapan bahwa janji-janji tokoh dalam mitos di setiap daerah yang
menjanjikan hari baru (Papua Baru) itu, suatu saat nanti akan terjadi.
Lelaki
tua itu bernama Manarmakeri. Ia berasal dari kampung Sopen daerah Biak,
Numfor,
Papua. Tubuh Manarmakeri penuh dengan kudis. Suatu ketika, dia membuat kebun di
atas bukit di belakang kampung Sopen, tepatnya di Yamnaibori. Kebun itu
ditanami dengan tanaman keladi, ubi jalar, labu dan berbagai tanaman lainnya.
Manarmakeri mengelilingi kebunnya dengan pagar untuk menghindari serbuan dari
babi hutan.
Suatu
pagi yang cerah, Manarmakeri pergi ke kebun. Sesampai di kebun Manarmakeri
terkejut melihat tanamannya yang habis dimakan babi hutan. Ia memeriksa pagar
dan ternyata, tidak ada tanda-tanda masuk. “Dari mana binatang itu masuk ya.
Pagar masih utuh,” kata Manarmakeri terheran-heran.
Manarmakeri
memutuskan untuk menjaga kebunnya pada malam hari. Hari sudah malam Manarmakeri
bersiap-siap dengan makbak (tombak
nibun) pada tempat yang tersembunyi di pinggir kebun. Tiba-tiba seekor babi
hutan muncul di tengah kebun. Dengan penuh kemarahan dan keheranan Manarmakeri
melemparkan makbaknya ke arah babi hutan yang
sedang asyik makan tanaman. Seketika terdengar suara gaduh disusul jeritan
kesakitan babi hutan itu ” Ae,
ae……yamnai…. (aduh… saya berhenti…). Lalu babi hutan itu
menghilang secara tiba-tiba bersama makbak yang
tertancap di badannya.
Keesokan
harinya Manarmakeri mengikuti jejak babi hutan itu melalui darah yang menetes
sepanjang jalan setapak. Akhirnya dia tiba pada sebuah goa di tengah hutan.
Manarmakeri memasuki goa itu dan dia melihat makbaknya bersandar
di dinding dengan keadaan utuh dan bersih. Ketika menoleh ke kiri dan ke kanan
terdengarlah suara yang menegurnya. “Siapakah
engkau dan mau ke mana? Apa yang kau cari di sini? Bawalah makbakmu dan keluar membelakangi saya.” “Bagaimana saya
harus berjalan?” tanya Manarmakeri. “Kerjakanlah apa yang aku perintahkan kalau
tidak kau akan jatuh,” jawab suara itu.
Sebelum
dia melakukan perintahnya, suara berkata lagi, “Apakah engkau mengenali
mereka?” Tiba-tiba tabir matanya terbuka dan terlihat sebuah kampung yang
bersih, indah, banyak penduduk, dan terang. Rupanya di sana tidak ada
kemiskinan, kelaparan, penganiayaan, peperangan, dan penuh kebebasan.
“Waktumu
belum tiba untuk mendiami tempat ini, sebab kamu masih berada dalam dunia sasar (semu). Kampung yang kamu lihat ini adalah
tempat “koreri“. Bawalah makbak itu dan
kembalikan ke tempatmu,” kata perintah suara itu. Lalu dengan penuh
penasaran Manarmakeri meninggalkan tempat itu dan kembali ke kampungnya. Di
kediamannya ia merenungkan rahasia koreri. Koreri adalah saat manusia mengalami
kehidupan baru yaitu kehidupan yang penuh kebebasan dan kebahagiaan.
Keesokan
harinya Manarmakeri mendengar anak Mananwir (kepala
kampung) menemukan seekor Manswar (kasuari) tua
bersama seorang gadis yang cantik di suatu tanjung. Burung kasuari duduk di
dalam laut dan membiarkan ikan-ikan kecil mendekat pada bulunya, kemudian
kasuari itu kembali ke tepi pantai lalu menggoyangkan badannya sehingga
ikan-ikan berjatuhan di atas pasir. Kemudian seorang gadis muncul tiba-tiba
dari balik belukar dan memungut ikan-ikan tersebut dan memasukannya ke
dalam inawen (sejenis keranjang). Kemudian gadis kecil
itu naik di atas punggung Manswar dan
mereka berdua menghilang.
Anak Mananwir terpesona melihat gadis canitik yang aneh
itu. Ia menceritakan kejadian itu sekaligus keinginannya untuk mengawini gadis
cantik itu kepada ayahnya. Lalu ayahnya mengajak seluruh penduduk kampung Sopen
untuk membantu mencari dan menangkap Manswar tua
bersama gadis cantik yang sedang bersembunyi di sekitar tanjung, tidak jauh
dari kampung Sopen.
Semua
laki-laki yang kuat di seluruh kampung Sopen berkumpul di rumah Mananwir untuk menerima amanat untuk segera
menangkap kedua makhluk aneh itu. Mananwir berjanji,
“Bagi yang berhasil menangkap gadis jelita itu dan membawa pulang ke rumah
saya, maka ia berhak mengawini anak perempuan saya yang bungsu”. Mendengar
janji itu, para pemuda segera membentuk pasukan pengepung.
Dengan
semangat yang menggebu-gebu, pasukan pengepung meninggalkan kampung Sopen
menuju tanjung tempat persembunyian kasuari dan gadis itu. Mereka mengepung
tanjung itu lalu dengan sorak-sorai mempersempit lingkaran, namun perhitungan
mereka meleset. Kasuari tua itu berhasil meloloskan diri bersama si gadis
jelita.
Usaha
penangkapan pada hari pertama gagal. Pasukan kembali ke kampung. Mereka
berkumpul kembali dan merencanakan taktik baru untuk mengepung dan menangkap
gadis itu. Keesokan harinya, pasukan mengepung tanjung itu dengan taktik yang
baru, namun usahanya gagal seperti pada hari pertama.
Kini
mereka berkumpul di rumsram (rumah
tempat berkumpul kaum pria) untuk evaluasi kegagalan dan merencanakan cara
penangkapan pada hari berikutnya. Secara kebetulan si lelaki tua
(Mananarmekeri) itu lewat di depan para pemuda yang duduk di rumsram. “Oi, para pemuda, kalian sedang bicara apa?”
Beberapa
dari mereka menjelaskan tentang usaha yang sedang mereka lakukan. Mendengar hal
itu, Manarmakeri menawarkan dirinya untuk ikut mencari. Namun tawaran itu
justru menjadi lelucon para pemuda. “Kami yang muda dan kuat saja tidak
berhasil mengepung dan menangkap kasuari serta gadis itu, apalagi kamu yang
penuh kudis dan kaskado ini … ,” kata salah satu pemuda. Ada juga menghina
Manarmakeri, “Cis, sedangkan kami yang muda dan kuat tidak sanggup, apalagi kau
orang tua yang sudah korengan, lebih baik pakailah waktumu untuk mengusir lalat
dan mengupas koreng dari badanmu itu.”
Mendengar
kata-kata yang menyakitkan itu, Manarmakeri membatalkan tawarannya untuk ikut
pada hari ketiga. Ia ingin melihat apa hasil dari usaha pengepungan pada hari
itu. Usaha pengepungan hari ketiga masih belum membuahkan hasil. Anak Mananwir terus merindukan gadis itu. Mukanya
makin murung dan putus asa menyaksikan kegagalan demi kegagalan yang dialami
pasukan itu. Melihat anak kepala kampung itu, para pemuda mulai merasa malu.
Kini mereka kehabisan taktik untuk menangkap gadis itu.
Kini
satu-satunya jalan bagi para pemuda adalah harus meminta bantuan kepada orang
hobatan untuk menemukan suatu cara mistik yang dapat mengalahkan kekuatan kedua
makhluk itu. Namun salah satu pemuda mengusulkan untuk mencoba yang terakhir
kalinya. Untuk kesempatan ini tanpa basa-basi dan tawar-menawar, Manarmakeri
ikut mengambil bagian dalam usaha pengepungan pada hari keempat itu. Seluruh
pasukan sudah disusun atas beberapa lapisan lalu melingkari tanjung. Kini tidak
ada celah lagi untuk melewati sesuatu. Mananarmakeri mengambil tempat pada
daerah bakau yang penuh lumpur.
Pengepungan
dan gemuruh sorak serta pekikan dari pasukan pengepung terdengar. Kasuari dan
gadis jelita merasa benar-benar terjepit. Tidak ada jalan lain, satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan diri mereka yaitu melalui daerah bakau penuh lumpur
yang pasti tidak diawasi para pemuda. Secara diam-diam kasuari itu melewati
daerah lumpur itu, namun sial. Kakinya tertahan oleh lumpur dan memperlambat
larinya. Manarmakeri yang sudah sembunyi di tempat itu dengan mudah saja
mengejar dan menangkap sang gadis dari punggung Manswar dan
memeluknya dengan sekuat tenaga sehingga tidak sempat lagi meloloskan diri.
Sedangkan Manswar itu
sempat meloloskan dirinya ke hutan. Sejak kejadian itu di Biak tidak ada lagi
burung
Manswar (kasuari) sampai
saat ini.
Dengan
penuh semangat Manarmakeri membawa gadis jelita itu kepada Mananwir Sopen. Namun, sebagai hadiah bukan anak
bungsu yang dijanjikan sebelumnya, tetapi seekor babi. Dia menerima hadiah itu
dengan tenang, lalu menyerahkannya kepada saudara-saudaranya untuk bakar batu
(barapen). Manarmakeri memperbolehkan mereka untuk mengambil kayu bakar,
keladi, daun pisang serta sayuran di kebun miliknya, Yamnaibori. Mereka membuat
barapen di hutan dekat kebun Manarmakeri. Setelah selesai masak, babi beserta
sayur dibagi-bagikan kepada seluruh sanak saudara di kampung Sopen. Harapan
Manarmakeri untuk mendapatkan daging yang bagus, tinggal harapan. Dia
(Manarmakeri) hanya diberikan tulang kepala yang sudah tidak ada daging.
“Kenapa
saudara-saudara saya sendiri memperlakukan saya seperti ini. Mereka tidak menghargai
saya sebagai manusia. Saya sudah membantu kepala kampung menangkap putri
kasuari. Hadiahnya bukan anak perempuannya yang bungsu. Diberikan seekor babi.
Bukan itu saja. Babi itu sudah diserahkan dengan baik-baik kepada
saudara-saudaraku untuk dimasak, bahkan kayu api, keladi,
sayur yang dimasak itupun diambil dari kebun saya sendiri. Akhirnya, saya
diberikan bagian yang tidak pantas.” Mananarmakeri merasa benar-benar tidak
dihargai sebagai warga kampung Sopen. Akhirnya, Manarmakeri mengambil keputusan
untuk untuk meninggalkan kampung yang dicintainya itu.
Maka
keesokan harinya, pagi-pagi buta sebelum warga kampung bangun tidur,
Manarmakeri menyiapkan perahu kecilnya. Ia tidak lupa membawa dayung, konarem (penimba air) dan tongkatnya. Di tengah
perjalanan angin Wambrau (Barat) bertiup dengan
kencang dan menyebabkan ombak sehingga ia mendarat di kampung Maundori. Tetapi
tidak bisa karena banyak karang. Akhirnya ia mengeluarkan tongkat wasiatnya
untuk menggores karang lalu terjadilah suatu terusan.
Melalui
terusan itu, ia dapat mendarat. Setelah angin reda ia melanjutkan perjalanannya
menyusuri pantai. Ketika mendekati kampung Sorido ia menangkap seekor ikan dan
membawanya ke rumah napiremnya (saudara
sepupu) yang bernama Padawankan di kampung Mokmer. Ketika ikan dimasak mereka
membagi-bagikannya tanpa mengingat istrinya. Istrinya menanyakan bagiannya
ternyata telah habis. Istrinya marah dan kemarahannya didengar oleh
Manarmakeri. Ia meminta pamit dan pergi ke Meokbundi.
Manarmakeri
sampai di Meokbundi. Dia hendak melakukan suatu pekerjaan yang digemarinya,
yaitu menyadap nira (gula
kelapa). Ia meminta kelapa kepada penduduk Sokani, tetapi tidak dikasih.
Manarmakeri mengambil kelapa yang bertunas dan menanamnya. Kelapa yang ia taman
itu pertumbuhannya ajaib. Kelapa itu sudah tumbuh besar dan sudah dapat
disadap. Manarmakeri hidup dengan menyadap nira (saguer).
Pada
suatu hari ia melihat nira yang ada
dipohon itu habis diambil orang. Dia tanya kepada semua orang, namun tidak ada
yang mengaku. Terpaksa ia mengintai untuk menangkap pencurinya. Pada malam
pertama ia berjaga-jaga di bawah pohon. Keesokan harinya ia melihat nira masih dicuri juga. Untuk malam kedua
dibuatnya pora-pora (kaderen) di tengah pohon kelapa lalu dia menjaga. Namun,
sama saja pencuri itu masih juga meminum nira itu. Ia
terus penasaran dari mana mereka mengambil.
Pada
malam ketiga karena penasaran dan marah, ia naik dan duduk bersembunyi di
tengah-tengah cabang dan daun kelapa. Sepanjang malam ia berjaga dengan tabah.
Menjelang dini hari, pencuri turun dari langit menuju puncak pohon kelapa.
Manarmakeri menangkap pencuri itu lalu terjadilah suatu pergumulan yang sengit.
Dalam pergumulan tersebut ternyata pencuri itu adalah Makmeser atau Sampari
(bintang pagi). “Lepaskanlah saya karena hari hampir siang!” kata Sampari.
Namun Manarmakeri tidak mau melepaskannya. “Saya tidak akan melepaskanmu
sebelum engkau memberikan apa yang kudambakan selama ini, “kata Manarmakeri.
Bintang
itu menyebut banyak hal yang ada di dunia ini, tetapi masih ada yang belum
disebut sehingga Manarmakeri tetap terdiam dan tidak mau melepaskan bintang
itu. “Katakanlah sekarang, apa yang kau kehendaki,’ kata Sampari itu,
“Berikanlah kepadaku “koreri syeben”, pinta Manarmakeri. “Karena matahari
terbit permintaanmu aku kabulkan dan sekarang ini koreri telah kau miliki. Bila
Insoraki anak gadis panglima Rumbrak pergi ke pantai dan mandi bersama
teman-temannya dekatilah lalu petiklah buah bintanggur (buah pohon Mars) dan
lemparkan ke laut. Kamu akan melihat sesuatu terjadi pada Insoraki dan itu
kejadian koreri,” kata Sampari.
Setelah
beberapa hari berselang dilihatnya beberapa gadis pergi mandi di pantai.
Cepat-cepat Manarmakeri pergi dan bersembunyi di balik pohon Mars (bintanggur).
Diperhatikannya gadis itu satu demi satu tampaknya olehnya seorang gadis yang
tercantik yaitu Insoraki.
Dia
memetik buah bintanggur lalu melemparkan ke laut. Buah itu hanyut dan tersentuh
pada payudara Insoraki. Insoraki kaget lalu memungut buah itu lalu
melemparkanya ke darat. Peristiwa itu terulang sampai tiga kali berturut-turut.
Setelah peristiwa itu terjadi Insoraki merasa ada suatu kelainan pada dirinya.
Orang tua terkejut karena anak gadisnya hamil. Orang tua Insoraki bertanya
kepada penduduk Meokbundi, tetapi seorang tidak mengetahuinya. Insoraki
termenung dengan hal yang menimpanya karena ia tidak pernah bergaul dengan
laki-laki. Setelah tiba saatnya melahirkan, lahirlah seorang anak laki-laki. Karena
anak itu telah lahir dan dirasa akan membawa perubahan dan kedamaian maka
mereka menamakannya Manarbeu (pembawa damai).
Pertumbuhan
anak itu semakin besar dan sudah dapat bicara. Setiap ia menangis ia selalu
menanyai ayahnya. Pada suatu hari mereka berkumpul dan bermufakat untuk
mengadakan Wor (suatu
pesta besar). Dengan pesta itu Manarbeu dapat menunjuk siapa bapaknya. Pada
hari yang ditentukan para tamu telah tiba dan acara segera dimulai. Insoraki
dan anaknya duduk paling depan supaya Manerbeu dapat menentukan bapaknya.
Pada
pesta itu mereka mengharuskan para pemuda untuk lewat berjalan di depan Insoraki
dan anaknya. Namun tidak seorang pun dikenali oleh Manerbeu. Perarakan terakhir
Manarmakeri adalah khusus untuk orang tua. Manarmakri mengantre pada bagian
terakhir. Manarmakeri penuh kudis dan di tanganya memegang tongkat dan
setangkai daun untuk pengusir lalat. Ketika ia lewat di depan ibu dan anak itu,
Manerbeu langsung menunjuk Manarmakeri dan berkata, “Ibu itu bapak saya!”
Ketika
anak itu ingin memeluk ayahnya, Insoraki menahannya karena jijik pada tubuh
Manarmakeri yang penuh kudis itu. Manarbeu berhasil lari dari pegangan ibunya
dan bertemu dengan ayahnya. Karena Manarmakeri dihina dan diusir oleh warga,
maka mereka pergi meninggalkan kampung itu. Akhirnya, Insoraki ikut dan pergi
bersama-sama dengan Manarmakeri menuju ke arah barat.
Dalam
perjalanannya ke Barat itu, Manarbeu tiba-tiba ingin bermain pasir di sebuah
pulau dengan pasir putih yang tiba-tiba muncul. Setelah Manarbeu puas bermain,
mereka berlayar terus meninggalkan pulau Yapen menyisi pulau Supiori yang
makin lama makin jauh menuju ke barat. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba muncul
sebuah pulau kecil di atas permukaan laut dan makin lama makin besar. Ternyata
pulau itu lebih dari pulau yang baru saja ditinggalkan dan tidak bergunung.
Perahu karures dari Manarmakeri berlayar menyusuri pantai pulau itu sampai pada
suatu pulau kecil dan Manarbeu kembali berhasrat untuk bermain pasir di pulau
kecil itu. Karena dia terus merengek untuk bermain, terpaksa perahu didaratkan
dan Manarbeu boleh bermain-main di atas pasir itu.
Perjalanan
terus dilanjutkan. Sesampai di pulau besar itu ternyata belum didiami oleh
manusia. Manarmakeri mengambil empat batang lidi yang ditancapkan di atas pasir
dan kemudian dia mengucapkan mantera-manteranya. Setelah membaca mantera,
keempat lidi itu berubah menjadi empat suku asli pulau itu yang kemudian di
kenal sebagai Pulau Numfor . Manarmakeri memperingatkan mereka agar bila dari
antara mereka meninggal tidak boleh ditangisi karena mereka akan dibangkitkan.
Apabila mereka mematuhi permintaan itu, maka mereka akan hidup dalam
ketenteraman, kedamaian, dan berkelimpahan.
Dalam
kenyataannya mereka tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh Manarmakeri. Ketika
dari antara mereka meninggal, mereka tangisi dia. Hal itu benar-benar membuat
Manarmakeri kecewa. Bukan hanya itu, ketika mereka kekurangan bahan makanan
mereka berlayar ke pulau Yapen dan menukarkan ikan dengan sagu yang
sesungguhnya bertentangan dengan apa yang perintahkan oleh Manarmakeri.
Kejadian itu membuat dia kecewa dan merasa keberadaannya di daerah itu tidak dihargai.
Dia mengingat kembali pengalamannya di kampung Sopen, kemudian di pulau
Meobundi, di kampung Krawi dan terakhir di Numfor.
Manarmakeri
tidak betah tinggal di daerah itu. Dia mengambil keputusan untuk pergi dari
orang-orang dan negerinya sendiri untuk mencari tempat yang aman dan tenang.
Dia pergi meninggalkan tempat itu ke suatu tempat yang penuh ketenangan dan
kedamaian. Dia memperoleh rahasia hidup abadi yang ingin ia sumbangkan kepada
sesamanya manusia tetapi tidak mau dimengerti untuk itu dia pergi. Dia pergi
untuk suatu ketika kembali membawa suatu kehidupan baru berkelimpahan dan penuh
kedamaian abadi seperti janji kibaran sampari (bintang kejora). Dia sempat
meninggalkan beberapa pesan kepada warganya supaya jangan suka membunuh, jangan
suka mencuri hak milik orang lain, dan menyiapkan rumah yang besar untuk
menampung kekayaan yang akan datang dari sebelah barat.
Setelah
berpesan demikian Manarmakeri bersama istrinya Insoraki naik perahu untuk pergi
meninggalkan tempat itu. Namun anaknya Manarbeu terlihat masih asyik bermain
pasir putih yang indah. Ketika Manarmakeri memintanya untuk naik ke perahu
Manarbeu tidak mau. Dia asyik bermain seakan-akan pasir adalah teman seumurnya
sampai dia tidak mau meninggalkannya. Untuk mengakali anaknya Manarmakeri
melemparkan sepotong kayu yang kemudian berubah menjadi seekor ular bisa.
Melihat ular itu, Manarbeu takut dan segera naik ke perahu. Sejak itu ular bisa
tersebut berkembang menjadi baik di pulau Numfor dan hingga kini pulau itu
dikenal sebagai pulau yang penuh dengan ular bisa.
Untuk
kesekian kalinya Manarmakeri harus meninggalkan rakyatnya. Perahu segera
bertolak meninggalkan pulau Numfor menuju ke sebelah Barat. Ia menyebrangi
selat dan lautan menyusuri pantai di pulau-pulau. Manarmakeri pernah singgah di
sekelompok pulau yang kini dikenal sebagai kepulauan Raja Ampat. Setelah
beberapa lama tinggal dan menyebarkan pengajarannnya, ia melanjutkan
perjalanannya menuju ke barat. Sejak keberangkatan hingga kini ia belum
kembali. Menurut pesan yang ditinggalkan, ia akan kembali pada suatu saat
dengan membawa kedamaian, harta benda serta makanan yang berkelimpahan. ”Saat saya kembali, sampari akan
berkibar-kibar dari ujung pulau hingga ke ujung pulau di atas tanah ini.”
ENGLISH
Manarmakeri
Manarmakeri
is the main character in a myth (not a legend nor fairy tale) in Biak, Papua.
Myth Manarmakeri has a historical background, it is believed by the people as
the story actually occurred, is considered sacred, containing magical things,
and the character (Manarmakeri) is a god.
This
myth has been spread throughout the land of Papua long ago. There is a belief
in the storytellers’ community that in this myth as the pledge, Manarmakeri
would return one day. Till today, his arrival is still awaited in the region of
the storytellers and all over Papua.
Similar
stories are myths belonging to each tribe in Papua. These stories make Papuans
still exist to live in the midst of various problems in the hope that the
pledges of the mythical figures in each area who promised a new day (New Papua)
will happen someday.
That
old man named Manarmakeri. He came from Sopen village in Biak, Numfor, Papua.
Manarmakeri body was full with scabies. One day, he made a garden on the hill
behind the Sopen village, precisely in Yamnaibori. The garden was planted with
taro, sweet potato, squash and other crops. Manarmakeri fenced off the garden
with fences to prevent invasion of wild boar.
One
sunny morning, Manarmakeri went into the garden. Arriving at the garden
Manarmakeri was surprised to see that the crops had been eaten away by wild
boar. He checked the fence and figured out there was no intruding signs. "How
could it come inside? The fence is still unbroken,” Manarmakeri said
astonishly.
Manarmakeri
decided to keep his garden at night. It was late night and Manarmakeri was
getting ready with his makbak (nibun
spear) in a hidden place on the edge of the garden. Suddenly, a wild boar
appeared in the middle of the garden. In rage and astonishment Manarmakeri
threw his makbak toward the boar
which was busy eating plants. Instantaneously, loud noise followed by screams
of pain came up from the boar "Ae,
ae ...... yamnai .... (Ouch ... I quit ...). Then the boar disappeared
unexpectedly with makbak stuck in his
body.
On
the next day, Manarmakeri tracked the boar’s trail through the blood that
dripped along the path. Finally he came to a cave in the woods. Manarmakeri
entered the cave, and he saw his makbak
leaning against a wall on an intact and clean condition. When he turned to the
left and right, he heard a voice which cautioned him. "Who are you and
where are you going? What are you looking for here? Bring your makbak and go back off me."
"How am I going to walk?" Asked Manarmakeri. "You do what I tell
you or you'll fall off," said the voice.
Before
he made his order, the voice said again, "Do you recognize them?"
Suddenly his eyes opened and visible a clean, beautiful, a lot of people, and
light village. Apparently there was no poverty, hunger, persecution, war, and
full freedom in there.
"Your
time has not come yet to dwell in this place, because you are still in sasar (false) world. The village that
you see in this is a "koreri".
Bring the makbak and return it to
your place," the voice commanded. Then with great curiosity Manarmakeri
left that place and went back to his village. In his home he pondered about
Koreri secret. Koreri is when people experience a new life which is full of
freedom and happiness.
On
the following day, Manarmakeri heard that Mananwir’s son (village chief) found
an old Manswar (cassowaries) with a
beautiful girl in a cape. The cassowary sat in the sea and let the small fish
came on the coat, then it got back to the shore and wiggled its body so that
the fish fell on the sand. Then a girl appeared suddenly from behind a shrub
and picked up the fish and put it in inawen
(a kind of basket). Then the little girl was riding on the back of Manswar and they both disappeared.
Mananwir’
son was fascinated to see by the beautiful strange girl. He described the
incident as well as his desire to marry a beautiful girl to her father. Then
his father asked all the villagers in Sopen for help in finding and capturing
the old Manswar with the beautiful
girl who was hiding around the cape, which was not so far from the Sopen
village.
All
of strong men throughout the village were gathered at Mananwir’s home to
receive the mandate to immediately capture both the strange creatures. Mananwir
promised, "For those who can capture the strange beauty and bring her to
my house, then he has the right to marry my youngest daughter." Hearing
that promise, the boys soon formed a besieger army.
In
the spirit of the passionate, the army left the village towards the cape to
find their hiding place, the cassowary and the girl. They surrounded the whole
cape and narrowed the army circle with cheers, but they failed their
calculations. The old cassowary succeeded to get away with the beauty.
Capturing
effort failed on the first day. The troops returned home. They regrouped and
planned new tactics to surround and capture the girl. The next day, troops
surrounded the cape with the new tactic, but the effort failed as the first
day.
Then
they gathered in rumsram (the house
where the men gather) to evaluated the failure and planned on how to capture
them on the following day. Apparently, the old man (Mananarmekeri) passed in
front of the young man who sat in rumsram.
"Oi, young people, what are you talking about?"
Some
of them explained about the work they were doing. Hearing their explanation,
Manarmakeri offered himself to join the search. But the offer was just a joke
for the youth. "Even the young and strong are unsuccessful to besiege and
capture the cassowaries and girls, how could you who are full of mange and old
do this ...," said one young man. There is also an insult to Manarmakeri,
"Cis, we are the young and strong are not up to it, what can an oldman
with scabies do?, you’d better waste your time to repel flies and peeling scabs
from your stinky body."
Hearing
those painful words, Manarmakeri canceled his offer to participate in the third
day. He wanted to see what the result of the effort on that day. The third day
siege effort was zero result. Mananwir’s son kept on missing her. His face was
more gloomy and despairing to see the failures experienced by the troops.
Seeing the village chief’s son, the young men began to feel embarrassed. Then,
they ran out of tactics to capture the girl.
The
only way for the youth was to seek for help to the hobatan to find a way to
defeat the mystical power of the two creatures. But one young man proposed to
try one last time. For this occasion without further ado and bargains,
Manarmakeri took part in the siege troops on the fourth day. The whole squad
was composed of several layers and wrapped around the cape. Now there was no
more gap escape. Mananarmakeri took place on a muddy mangrove areas.
The
siege and thunderous cheers and shouts of the troops was heard. The cassowary
and the beauty were stuck. There was no other way, the only way to escape is
through muddy mangrove areas which were certainly not supervised by the youth.
Secretly cassowary was passing through the muddy area, but unluckyly. His legs
were restrained by mud and slowed down. Manarmakeri, who had hidden in the
place, could easily track down the girl from the back Manswar and squeezed her with all his strength so she did not have
time to escape. While Manswar had a
chance to get away into the woods. Since the incident in Biak, there was no
more Manswar (cassowaries) till
today.
Manarmakeri
enthusiastically took her maiden to Mananwir
Sopen. However, as a gift is not the youngest daughter as he promised before,
but a pig. He calmly accepted the gift and gave it to his brothers to burn on
rocks (barapen). Manarmakeri allowed them to take logs, taro, banana leaves and
vegetables in his garden, Yamnaibori. They made barapen in the woods nearby
Manarmakeri’s garden. After finishing cooking, the pork with vegetables were
spread to all relatives in the Sopen village. Manarmakeri’s hope to get a good
part of pork had gone. He (Manarmakeri) was given only the skull that had no
meat.
"Why
my own brothers treat me like this. They do not respect me as a human. I've
helped the village chief caught the cassowary princess. The prize was not the
youngest daughter. Given only a pig. Not only that. Pigs had been giving in
good manner to my brothers to be cooked, even firewood, taro, and the cooked
vegetables were taken from my own garden. Finally, I was only given a part that
is inappropriate." Mananarmakeri felt totally unappreciated as Sopen
villagers. Lastly, Manarmakeri took the decision to leave his beloved village.
So
the next day, early in the morning before the villagers woke up, Manarmakeri
prepared a small boat. He did not forget to bring a paddle, konarem (water bucket) and his wand. On
the way the Wambrau (West) wind was
blowing strongly and causing big waves, so he had to land in the Maundori
village. But he was unable to because a lot of coral. Finally he took his wand
to scratch the corals and a canal appeared.
Through
the canal, he was able to land. After the wind subsided he went on his way down
the beach. When approaching the Sorido village, he caught a fish and brought it
to his napiremnya (cousin) home named
Padawankan in Mokmer village. After the fish was cooked then it was shared
without remembering his wife. His wife asked her part which was already
washed-up. She was angry and her anger was heard by Manarmakeri. He went to say
goodbye and carried on his wandering to Meokbundi.
After
Manarmakeri arrived in Meokbundi. He was going to do a job that he loved, it
was tapping sap (coconut sugar). He asked the residents of Sokani for coconuts,
but was not given. Manarmakeri took coconut sprout and planted it. The coconut
which had been planted had a magical growth. Soon, the coconut was grown up and
already to be tapped. Manarmakeri lived by tapping sap (saguer).
One
day he found that the sap that he had been cultivated, was stolen. He asked
everyone about it, but no one claimed. By perforce he lurked to catch the
thief. On the first night he was on guard under the tree. The next day he found
the sap was stolen as well. For the second night, he made pora-pora (kaderen)
amid the coconut trees, then he preserved it. However, the thief was still able
to steal the sap. He kept wondering how they could do it.
On
the third night, as he was so curios and angry, he climbed up and hide in the
middle of branches and coconut leaves. All night he had stayed up with
fortitude. Ahead the daybreak, the thief came down from the sky to the top of a
coconut tree. Manarmakeri tried to catch the thief and there was a fierce
struggle. After battle turned out the thief was recognized as Makmeser or Sampari (morning star). "Please let go of me because the sun
will rise," said Sampari. However Manarmakeri did not let him go. "I
will never let you go until you give me what I had desired all this time,"
said Manarmakeri.
The
star had mentioned many things in this world, but still some had not been
mentioned yet, so Manarmakeri remained silent and did not let the star go.
"Say now, what do you want,' said Sampari, "Give me "koreri
syeben",” pleaded Manarmakeri. “As the sun rises I grant your wish and now
you have your koreri. When Insoraki the commander Rumbrak’s daughter goes to
the beach and bathes with her friends, then pick some bintanggur fruit (fruit
of Mars trees) and throw it into the sea. You will see something happen to
Insoraki and it is Koreri incident," said Sampari.
After
a couple of days, he saw some girls were bathing at the beach. Manarmakeri
quickly left and hid behind a Mars tree (bintanggur). He watched the each of
the girl and found the most beautiful one that was Insoraki.
He
picked the bintanggur fruit and threw it into the sea. Fruit was washed away
and touched Insoraki’s breast. Insoraki shocked, she picked the fruit and threw
it back to the shore. The event was repeated up to three times continuously.
After the incident, Insoraki felt there was there was something wrong within
herself. Her parents shocked by knowing their daughter's pregnancy. They asked
it to residents of Meokbundi, but no one knew. Insoraki was dreamy with what
happened to herself as she never hung out with the boys. A boy was born from
her pregnancy. As the newborn boy was perceived to bring change and peace, they
named it Manarbeu (the pacifier).
The
boy’s growth was so fast and was able to talk. Whenever he cried he always asked
who his father was. One day they got together and agreed to hold a Wor (a big party). By holding the party,
Manarbeu could appoint anyone to become his father. On the appointed day the
guests had arrived and the show would begin. Insoraki and her son were sitting
in the front so that Manerbeu could determine his father.
At
the party the youth were required to walk in over Insoraki and her son. But no
one was recognized by Manerbeu. In last procession, Manarmakeri came up in the
line for the elders. Manarmakri queued on the last line. Manarmakeri who was
full of scabies and holding a wand in his hand and a sprig of leaves for fly
repellent. When he passed in front of the mother and the child, Manerbeu
immediately pointed straight to him and said, "Mom that’s Daddy!"
When
the child wanted to hug him, Insoraki held her son in disgust at Manarmakeri’s
full of mange body. Manarbeu succeeded to escape from his mother's grip and
reached his father. Because Manarmakeri humiliated and expelled by the
citizens, then they left the village. Finally, Insoraki followed them along
heading west.
On
their way to the West, Manarbeu suddenly wanted to play sand on an island with
white sand that suddenly appeared. After Manarbeu satisfied to play, they
sailed along the side of the island, leaving Yapen and Supiori Island more far
westward. During the trip, suddenly appeared a small island above sea level and
it was growing bigger and bigger. Apparently the island is greater that the
islands that had just been left and not mountainous. Manarmakeri’s karures boat
sailed down the coast of island till came down to a small island and Manarbeu
was eager to play more sand on the island. Because he continued to whine to
play, by perforce the boat was anchored and Manarbeu could play in the sand.
The
Journey was carried on. Arriving in a big island which apparently had not been
inhabited by humans. Manarmakeri took four rods stick and plugged them on the
sand and then he recited his charms. After reading the mantras, the four sticks
turned into four local tribes, the island was later known as the Numfor Island.
Manarmakeri warned them of whenever one of them died, it should not be mourn
for they would be resurrected. If they obeyed the order, they would live in
harmony, peace, and abundance.
In
fact they did not obey what was said by Manarmakeri. As of them died, they
cried for him. It really made Manarmakeri disappointed. Besides, when they lack
of the food they sailed to the island of Yapen and exchanged fish with sago
which was contrary to what was commanded by Manarmakeri. The incident made him
disappointed and felt his presence in the area was not appreciated. He reminded
his experiences in Sopen village, then Meobundi Island, in the Krawi village
and the last one in Numfor Island.
Manarmakeri
did not like living in that island. He took the decision to leave the people
and his own land to seek for a safe and quiet place. He left that place to go
to another place of tranquility and peace. He obtained the secret of eternal
life and he wanted to share it to his fellow man but they would not understand,
that is why he is gone. He went for a while back bringing a new abundance life
and eternal peace as what was promised by sampari
(the morning star). He left several messages to the people not to murder, not
to steal other people's property, and prepared a large house to save the wealth
that would come from the west.
Having
instructed the people, Manarmakeri with Insoraki sailed to leave the place. But
their son Manarbeu looked so busy playing beautiful white sand. When
Manarmakeri asked him to get into the boat Manarbeu refused him. He was
exciting to play as if the sands was his friend that he did not want to leave.
To outsmart his son, Manarmakeri threw a piece of wood that then turned into a
snake. Seeing the snake, Manarbeu scared and immediately got into the boat.
Since then the snake could breed well in Numfor Island and today the island is
known as an island filled with snakes.
For
the umpteenth time Manarmakeri should leave his people. The boat left the
Numfor Island for heading west. He crossed the straits and seas along the coast
of the islands. Manarmakeri used to stop at a group of islands which is now
known as the Raja Ampat archipelago. After some time living and spreading his
fluency, he continued his journey westward. Since his departure until now he
has not come back. According to the message left, he would return at some point
to bring peace, property and food abundance. "When I come back, sampari will be waving from the edge to the
end of the island on this land."
No comments:
Post a Comment