Thursday, April 18, 2013

Papuans Myth, Manarmakeri


INDONESIA
Manarmakeri

Manarmakeri adalah tokoh utama dalam sebuah mitos (bukan legenda atau dongeng) di daerah Biak, Papua. Mitos Manarmakeri mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang ajaib, dan tokohnya (Manarmakeri) adalah Dewa.
Mitos ini telah tersebar di seluruh tanah Papua sejak dulu. Ada sebuah keyakinan dari masyarakat penutur mitos ini bahwa seperti janjinya, Manarmakeri akan kembali suatu saat. Sampai hari ini, masih dinantikan kedatangan Manarmakeri di daerah penutur cerita maupun di seluruh Papua.
Cerita serupa yang tergolong mitos terdapat di tiap suku di tanah Papua. Cerita-cerita ini membuat rakyat Papua tetap eksis untuk hidup di tengah berbagai persoalan dengan harapan bahwa janji-janji tokoh dalam mitos di setiap daerah yang menjanjikan hari baru (Papua Baru) itu, suatu saat nanti akan terjadi.
Lelaki tua itu bernama Manarmakeri. Ia berasal dari kampung Sopen daerah Biak, Numfor, Papua. Tubuh Manarmakeri penuh dengan kudis. Suatu ketika, dia membuat kebun di atas bukit di belakang kampung Sopen, tepatnya di Yamnaibori. Kebun itu ditanami dengan tanaman keladi, ubi jalar, labu dan berbagai tanaman lainnya. Manarmakeri mengelilingi kebunnya dengan pagar untuk menghindari serbuan dari babi hutan.
Suatu pagi yang cerah, Manarmakeri pergi ke kebun. Sesampai di kebun Manarmakeri terkejut melihat tanamannya yang habis dimakan babi hutan. Ia memeriksa pagar dan ternyata, tidak ada tanda-tanda masuk. “Dari mana binatang itu masuk ya. Pagar masih utuh,” kata Manarmakeri terheran-heran.
Manarmakeri memutuskan untuk menjaga kebunnya pada malam hari. Hari sudah malam Manarmakeri bersiap-siap dengan makbak (tombak nibun) pada tempat yang tersembunyi di pinggir kebun. Tiba-tiba seekor babi hutan muncul di tengah kebun. Dengan penuh kemarahan dan keheranan Manarmakeri melemparkan makbaknya ke arah babi hutan yang sedang asyik makan tanaman. Seketika terdengar suara gaduh disusul jeritan kesakitan babi hutan itu ” Ae, ae……yamnai…. (aduh… saya berhenti…). Lalu babi hutan itu menghilang secara tiba-tiba bersama makbak yang tertancap di badannya.
Keesokan harinya Manarmakeri mengikuti jejak babi hutan itu melalui darah yang menetes sepanjang jalan setapak. Akhirnya dia tiba pada sebuah goa di tengah hutan. Manarmakeri memasuki goa itu dan dia melihat makbaknya bersandar di dinding dengan keadaan utuh dan bersih. Ketika menoleh ke kiri dan ke kanan terdengarlah suara yang menegurnya. “Siapakah engkau dan mau ke mana? Apa yang kau cari di sini? Bawalah makbakmu dan keluar membelakangi saya.” “Bagaimana saya harus berjalan?” tanya Manarmakeri. “Kerjakanlah apa yang aku perintahkan kalau tidak kau akan jatuh,” jawab suara itu.
Sebelum dia melakukan perintahnya, suara berkata lagi, “Apakah engkau mengenali mereka?” Tiba-tiba tabir matanya terbuka dan terlihat sebuah kampung yang bersih, indah, banyak penduduk, dan terang. Rupanya di sana tidak ada kemiskinan, kelaparan, penganiayaan, peperangan, dan penuh kebebasan.
“Waktumu belum tiba untuk mendiami tempat ini, sebab kamu masih berada dalam dunia sasar (semu). Kampung yang kamu lihat ini adalah tempat “koreri“. Bawalah makbak itu dan kembalikan ke tempatmu,” kata perintah suara itu. Lalu dengan penuh penasaran Manarmakeri meninggalkan tempat itu dan kembali ke kampungnya. Di kediamannya ia merenungkan rahasia koreri. Koreri adalah saat manusia mengalami kehidupan baru yaitu kehidupan yang penuh kebebasan dan kebahagiaan.
Keesokan harinya Manarmakeri mendengar anak Mananwir (kepala kampung) menemukan seekor Manswar (kasuari) tua bersama seorang gadis yang cantik di suatu tanjung. Burung kasuari duduk di dalam laut dan membiarkan ikan-ikan kecil mendekat pada bulunya, kemudian kasuari itu kembali ke tepi pantai lalu menggoyangkan badannya sehingga ikan-ikan berjatuhan di atas pasir. Kemudian seorang gadis muncul tiba-tiba dari balik belukar dan memungut ikan-ikan tersebut dan memasukannya ke dalam inawen (sejenis keranjang). Kemudian gadis kecil itu naik di atas punggung Manswar dan mereka berdua menghilang.
Anak Mananwir terpesona melihat gadis canitik yang aneh itu. Ia menceritakan kejadian itu sekaligus keinginannya untuk mengawini gadis cantik itu kepada ayahnya. Lalu ayahnya mengajak seluruh penduduk kampung Sopen untuk membantu mencari dan menangkap Manswar tua bersama gadis cantik yang sedang bersembunyi di sekitar tanjung, tidak jauh dari kampung Sopen.
Semua laki-laki yang kuat di seluruh kampung Sopen berkumpul di rumah Mananwir untuk menerima amanat untuk segera menangkap kedua makhluk aneh itu. Mananwir berjanji, “Bagi yang berhasil menangkap gadis jelita itu dan membawa pulang ke rumah saya, maka ia berhak mengawini anak perempuan saya yang bungsu”. Mendengar janji itu, para pemuda segera membentuk pasukan pengepung.
Dengan semangat yang menggebu-gebu, pasukan pengepung meninggalkan kampung Sopen menuju tanjung tempat persembunyian kasuari dan gadis itu. Mereka mengepung tanjung itu lalu dengan sorak-sorai mempersempit lingkaran, namun perhitungan mereka meleset. Kasuari tua itu berhasil meloloskan diri bersama si gadis jelita.
Usaha penangkapan pada hari pertama gagal. Pasukan kembali ke kampung. Mereka berkumpul kembali dan merencanakan taktik baru untuk mengepung dan menangkap gadis itu. Keesokan harinya, pasukan mengepung tanjung itu dengan taktik yang baru, namun usahanya gagal seperti pada hari pertama.
Kini mereka berkumpul di rumsram (rumah tempat berkumpul kaum pria) untuk evaluasi kegagalan dan merencanakan cara penangkapan pada hari berikutnya. Secara kebetulan si lelaki tua (Mananarmekeri) itu lewat di depan para pemuda yang duduk di rumsram. “Oi, para pemuda, kalian sedang bicara apa?”
Beberapa dari mereka menjelaskan tentang usaha yang sedang mereka lakukan. Mendengar hal itu, Manarmakeri menawarkan dirinya untuk ikut mencari. Namun tawaran itu justru menjadi lelucon para pemuda. “Kami yang muda dan kuat saja tidak berhasil mengepung dan menangkap kasuari serta gadis itu, apalagi kamu yang penuh kudis dan kaskado ini … ,” kata salah satu pemuda. Ada juga menghina Manarmakeri, “Cis, sedangkan kami yang muda dan kuat tidak sanggup, apalagi kau orang tua yang sudah korengan, lebih baik pakailah waktumu untuk mengusir lalat dan mengupas koreng dari badanmu itu.”
Mendengar kata-kata yang menyakitkan itu, Manarmakeri membatalkan tawarannya untuk ikut pada hari ketiga. Ia ingin melihat apa hasil dari usaha pengepungan pada hari itu. Usaha pengepungan hari ketiga masih belum membuahkan hasil. Anak Mananwir terus merindukan gadis itu. Mukanya makin murung dan putus asa menyaksikan kegagalan demi kegagalan yang dialami pasukan itu. Melihat anak kepala kampung itu, para pemuda mulai merasa malu. Kini mereka kehabisan taktik untuk menangkap gadis itu.
Kini satu-satunya jalan bagi para pemuda adalah harus meminta bantuan kepada orang hobatan untuk menemukan suatu cara mistik yang dapat mengalahkan kekuatan kedua makhluk itu. Namun salah satu pemuda mengusulkan untuk mencoba yang terakhir kalinya. Untuk kesempatan ini tanpa basa-basi dan tawar-menawar, Manarmakeri ikut mengambil bagian dalam usaha pengepungan pada hari keempat itu. Seluruh pasukan sudah disusun atas beberapa lapisan lalu melingkari tanjung. Kini tidak ada celah lagi untuk melewati sesuatu. Mananarmakeri mengambil tempat pada daerah bakau yang penuh lumpur.
Pengepungan dan gemuruh sorak serta pekikan dari pasukan pengepung terdengar. Kasuari dan gadis jelita merasa benar-benar terjepit. Tidak ada jalan lain, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri mereka yaitu melalui daerah bakau penuh lumpur yang pasti tidak diawasi para pemuda. Secara diam-diam kasuari itu melewati daerah lumpur itu, namun sial. Kakinya tertahan oleh lumpur dan memperlambat larinya. Manarmakeri yang sudah sembunyi di tempat itu dengan mudah saja mengejar dan menangkap sang gadis dari punggung Manswar dan memeluknya dengan sekuat tenaga sehingga tidak sempat lagi meloloskan diri. Sedangkan Manswar itu sempat meloloskan dirinya ke hutan. Sejak kejadian itu di Biak tidak ada lagi burung Manswar (kasuari) sampai saat ini.
Dengan penuh semangat Manarmakeri membawa gadis jelita itu kepada Mananwir Sopen. Namun, sebagai hadiah bukan anak bungsu yang dijanjikan sebelumnya, tetapi seekor babi. Dia menerima hadiah itu dengan tenang, lalu menyerahkannya kepada saudara-saudaranya untuk bakar batu (barapen). Manarmakeri memperbolehkan mereka untuk mengambil kayu bakar, keladi, daun pisang serta sayuran di kebun miliknya, Yamnaibori. Mereka membuat barapen di hutan dekat kebun Manarmakeri. Setelah selesai masak, babi beserta sayur dibagi-bagikan kepada seluruh sanak saudara di kampung Sopen. Harapan Manarmakeri untuk mendapatkan daging yang bagus, tinggal harapan. Dia (Manarmakeri) hanya diberikan tulang kepala yang sudah tidak ada daging.
“Kenapa saudara-saudara saya sendiri memperlakukan saya seperti ini. Mereka tidak menghargai saya sebagai manusia. Saya sudah membantu kepala kampung menangkap putri kasuari. Hadiahnya bukan anak perempuannya yang bungsu. Diberikan seekor babi. Bukan itu saja. Babi itu sudah diserahkan dengan baik-baik kepada saudara-saudaraku untuk dimasak, bahkan kayu api, keladi, sayur yang dimasak itupun diambil dari kebun saya sendiri. Akhirnya, saya diberikan bagian yang tidak pantas.” Mananarmakeri merasa benar-benar tidak dihargai sebagai warga kampung Sopen. Akhirnya, Manarmakeri mengambil keputusan untuk untuk meninggalkan kampung yang dicintainya itu.
Maka keesokan harinya, pagi-pagi buta sebelum warga kampung bangun tidur, Manarmakeri menyiapkan perahu kecilnya. Ia tidak lupa membawa dayung, konarem (penimba air) dan tongkatnya. Di tengah perjalanan angin Wambrau (Barat) bertiup dengan kencang dan menyebabkan ombak sehingga ia mendarat di kampung Maundori. Tetapi tidak bisa karena banyak karang. Akhirnya ia mengeluarkan tongkat wasiatnya untuk menggores karang lalu terjadilah suatu terusan.
Melalui terusan itu, ia dapat mendarat. Setelah angin reda ia melanjutkan perjalanannya menyusuri pantai. Ketika mendekati kampung Sorido ia menangkap seekor ikan dan membawanya ke rumah napiremnya (saudara sepupu) yang bernama Padawankan di kampung Mokmer. Ketika ikan dimasak mereka membagi-bagikannya tanpa mengingat istrinya. Istrinya menanyakan bagiannya ternyata telah habis. Istrinya marah dan kemarahannya didengar oleh Manarmakeri. Ia meminta pamit dan pergi ke Meokbundi.
Manarmakeri sampai di Meokbundi. Dia hendak melakukan suatu pekerjaan yang digemarinya, yaitu menyadap nira (gula kelapa). Ia meminta kelapa kepada penduduk Sokani, tetapi tidak dikasih. Manarmakeri mengambil kelapa yang bertunas dan menanamnya. Kelapa yang ia taman itu pertumbuhannya ajaib. Kelapa itu sudah tumbuh besar dan sudah dapat disadap. Manarmakeri hidup dengan menyadap nira (saguer).
Pada suatu hari ia melihat nira yang ada dipohon itu habis diambil orang. Dia tanya kepada semua orang, namun tidak ada yang mengaku. Terpaksa ia mengintai untuk menangkap pencurinya. Pada malam pertama ia berjaga-jaga di bawah pohon. Keesokan harinya ia melihat nira masih dicuri juga. Untuk malam kedua dibuatnya pora-pora (kaderen) di tengah pohon kelapa lalu dia menjaga. Namun, sama saja pencuri itu masih juga meminum nira itu. Ia terus penasaran dari mana mereka mengambil.
Pada malam ketiga karena penasaran dan marah, ia naik dan duduk bersembunyi di tengah-tengah cabang dan daun kelapa. Sepanjang malam ia berjaga dengan tabah. Menjelang dini hari, pencuri turun dari langit menuju puncak pohon kelapa. Manarmakeri menangkap pencuri itu lalu terjadilah suatu pergumulan yang sengit. Dalam pergumulan tersebut ternyata pencuri itu adalah Makmeser atau Sampari (bintang pagi). “Lepaskanlah saya karena hari hampir siang!” kata Sampari. Namun Manarmakeri tidak mau melepaskannya. “Saya tidak akan melepaskanmu sebelum engkau memberikan apa yang kudambakan selama ini, “kata Manarmakeri.
Bintang itu menyebut banyak hal yang ada di dunia ini, tetapi masih ada yang belum disebut sehingga Manarmakeri tetap terdiam dan tidak mau melepaskan bintang itu. “Katakanlah sekarang, apa yang kau kehendaki,’ kata Sampari itu, “Berikanlah kepadaku “koreri syeben”, pinta Manarmakeri. “Karena matahari terbit permintaanmu aku kabulkan dan sekarang ini koreri telah kau miliki. Bila Insoraki anak gadis panglima Rumbrak pergi ke pantai dan mandi bersama teman-temannya dekatilah lalu petiklah buah bintanggur (buah pohon Mars) dan lemparkan ke laut. Kamu akan melihat sesuatu terjadi pada Insoraki dan itu kejadian koreri,” kata Sampari.
Setelah beberapa hari berselang dilihatnya beberapa gadis pergi mandi di pantai. Cepat-cepat Manarmakeri pergi dan bersembunyi di balik pohon Mars (bintanggur). Diperhatikannya gadis itu satu demi satu tampaknya olehnya seorang gadis yang tercantik yaitu Insoraki.
Dia memetik buah bintanggur lalu melemparkan ke laut. Buah itu hanyut dan tersentuh pada payudara Insoraki. Insoraki kaget lalu memungut buah itu lalu melemparkanya ke darat. Peristiwa itu terulang sampai tiga kali berturut-turut. Setelah peristiwa itu terjadi Insoraki merasa ada suatu kelainan pada dirinya. Orang tua terkejut karena anak gadisnya hamil. Orang tua Insoraki bertanya kepada penduduk Meokbundi, tetapi seorang tidak mengetahuinya. Insoraki termenung dengan hal yang menimpanya karena ia tidak pernah bergaul dengan laki-laki. Setelah tiba saatnya melahirkan, lahirlah seorang anak laki-laki. Karena anak itu telah lahir dan dirasa akan membawa perubahan dan kedamaian maka mereka menamakannya Manarbeu (pembawa damai).
Pertumbuhan anak itu semakin besar dan sudah dapat bicara. Setiap ia menangis ia selalu menanyai ayahnya. Pada suatu hari mereka berkumpul dan bermufakat untuk mengadakan Wor (suatu pesta besar). Dengan pesta itu Manarbeu dapat menunjuk siapa bapaknya. Pada hari yang ditentukan para tamu telah tiba dan acara segera dimulai. Insoraki dan anaknya duduk paling depan supaya Manerbeu dapat menentukan bapaknya.
Pada pesta itu mereka mengharuskan para pemuda untuk lewat berjalan di depan Insoraki dan anaknya. Namun tidak seorang pun dikenali oleh Manerbeu. Perarakan terakhir Manarmakeri adalah khusus untuk orang tua. Manarmakri mengantre pada bagian terakhir. Manarmakeri penuh kudis dan di tanganya memegang tongkat dan setangkai daun untuk pengusir lalat. Ketika ia lewat di depan ibu dan anak itu, Manerbeu langsung menunjuk Manarmakeri dan berkata, “Ibu itu bapak saya!”
Ketika anak itu ingin memeluk ayahnya, Insoraki menahannya karena jijik pada tubuh Manarmakeri yang penuh kudis itu. Manarbeu berhasil lari dari pegangan ibunya dan bertemu dengan ayahnya. Karena Manarmakeri dihina dan diusir oleh warga, maka mereka pergi meninggalkan kampung itu. Akhirnya, Insoraki ikut dan pergi bersama-sama dengan Manarmakeri menuju ke arah barat.
Dalam perjalanannya ke Barat itu, Manarbeu tiba-tiba ingin bermain pasir di sebuah pulau dengan pasir putih yang tiba-tiba muncul. Setelah Manarbeu puas bermain, mereka berlayar terus meninggalkan pulau Yapen menyisi pulau Supiori yang makin lama makin jauh menuju ke barat. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba muncul sebuah pulau kecil di atas permukaan laut dan makin lama makin besar. Ternyata pulau itu lebih dari pulau yang baru saja ditinggalkan dan tidak bergunung. Perahu karures dari Manarmakeri berlayar menyusuri pantai pulau itu sampai pada suatu pulau kecil dan Manarbeu kembali berhasrat untuk bermain pasir di pulau kecil itu. Karena dia terus merengek untuk bermain, terpaksa perahu didaratkan dan Manarbeu boleh bermain-main di atas pasir itu.
Perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di pulau besar itu ternyata belum didiami oleh manusia. Manarmakeri mengambil empat batang lidi yang ditancapkan di atas pasir dan kemudian dia mengucapkan mantera-manteranya. Setelah membaca mantera, keempat lidi itu berubah menjadi empat suku asli pulau itu yang kemudian di kenal sebagai Pulau Numfor . Manarmakeri memperingatkan mereka agar bila dari antara mereka meninggal tidak boleh ditangisi karena mereka akan dibangkitkan. Apabila mereka mematuhi permintaan itu, maka mereka akan hidup dalam ketenteraman, kedamaian, dan berkelimpahan.
Dalam kenyataannya mereka tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh Manarmakeri. Ketika dari antara mereka meninggal, mereka tangisi dia. Hal itu benar-benar membuat Manarmakeri kecewa. Bukan hanya itu, ketika mereka kekurangan bahan makanan mereka berlayar ke pulau Yapen dan menukarkan ikan dengan sagu yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang perintahkan oleh Manarmakeri. Kejadian itu membuat dia kecewa dan merasa keberadaannya di daerah itu tidak dihargai. Dia mengingat kembali pengalamannya di kampung Sopen, kemudian di pulau Meobundi, di kampung Krawi dan terakhir di Numfor.
Manarmakeri tidak betah tinggal di daerah itu. Dia mengambil keputusan untuk pergi dari orang-orang dan negerinya sendiri untuk mencari tempat yang aman dan tenang. Dia pergi meninggalkan tempat itu ke suatu tempat yang penuh ketenangan dan kedamaian. Dia memperoleh rahasia hidup abadi yang ingin ia sumbangkan kepada sesamanya manusia tetapi tidak mau dimengerti untuk itu dia pergi. Dia pergi untuk suatu ketika kembali membawa suatu kehidupan baru berkelimpahan dan penuh kedamaian abadi seperti janji kibaran sampari (bintang kejora). Dia sempat meninggalkan beberapa pesan kepada warganya supaya jangan suka membunuh, jangan suka mencuri hak milik orang lain, dan menyiapkan rumah yang besar untuk menampung kekayaan yang akan datang dari sebelah barat.
Setelah berpesan demikian Manarmakeri bersama istrinya Insoraki naik perahu untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun anaknya Manarbeu terlihat masih asyik bermain pasir putih yang indah. Ketika Manarmakeri memintanya untuk naik ke perahu Manarbeu tidak mau. Dia asyik bermain seakan-akan pasir adalah teman seumurnya sampai dia tidak mau meninggalkannya. Untuk mengakali anaknya Manarmakeri melemparkan sepotong kayu yang kemudian berubah menjadi seekor ular bisa. Melihat ular itu, Manarbeu takut dan segera naik ke perahu. Sejak itu ular bisa tersebut berkembang menjadi baik di pulau Numfor dan hingga kini pulau itu dikenal sebagai pulau yang penuh dengan ular bisa.
Untuk kesekian kalinya Manarmakeri harus meninggalkan rakyatnya. Perahu segera bertolak meninggalkan pulau Numfor menuju ke sebelah Barat. Ia menyebrangi selat dan lautan menyusuri pantai di pulau-pulau. Manarmakeri pernah singgah di sekelompok pulau yang kini dikenal sebagai kepulauan Raja Ampat. Setelah beberapa lama tinggal dan menyebarkan pengajarannnya, ia melanjutkan perjalanannya menuju ke barat. Sejak keberangkatan hingga kini ia belum kembali. Menurut pesan yang ditinggalkan, ia akan kembali pada suatu saat dengan membawa kedamaian, harta benda serta makanan yang berkelimpahan. ”Saat saya kembali, sampari akan berkibar-kibar dari ujung pulau hingga ke ujung pulau di atas tanah ini.”

ENGLISH 

Manarmakeri

Manarmakeri is the main character in a myth (not a legend nor fairy tale) in Biak, Papua. Myth Manarmakeri has a historical background, it is believed by the people as the story actually occurred, is considered sacred, containing magical things, and the character (Manarmakeri) is a god.
This myth has been spread throughout the land of Papua long ago. There is a belief in the storytellers’ community that in this myth as the pledge, Manarmakeri would return one day. Till today, his arrival is still awaited in the region of the storytellers and all over Papua.
Similar stories are myths belonging to each tribe in Papua. These stories make Papuans still exist to live in the midst of various problems in the hope that the pledges of the mythical figures in each area who promised a new day (New Papua) will happen someday.
That old man named Manarmakeri. He came from Sopen village in Biak, Numfor, Papua. Manarmakeri body was full with scabies. One day, he made a garden on the hill behind the Sopen village, precisely in Yamnaibori. The garden was planted with taro, sweet potato, squash and other crops. Manarmakeri fenced off the garden with fences to prevent invasion of wild boar.
One sunny morning, Manarmakeri went into the garden. Arriving at the garden Manarmakeri was surprised to see that the crops had been eaten away by wild boar. He checked the fence and figured out there was no intruding signs. "How could it come inside? The fence is still unbroken,” Manarmakeri said astonishly.
Manarmakeri decided to keep his garden at night. It was late night and Manarmakeri was getting ready with his makbak (nibun spear) in a hidden place on the edge of the garden. Suddenly, a wild boar appeared in the middle of the garden. In rage and astonishment Manarmakeri threw his makbak toward the boar which was busy eating plants. Instantaneously, loud noise followed by screams of pain came up from the boar "Ae, ae ...... yamnai .... (Ouch ... I quit ...). Then the boar disappeared unexpectedly with makbak stuck in his body.
On the next day, Manarmakeri tracked the boar’s trail through the blood that dripped along the path. Finally he came to a cave in the woods. Manarmakeri entered the cave, and he saw his makbak leaning against a wall on an intact and clean condition. When he turned to the left and right, he heard a voice which cautioned him. "Who are you and where are you going? What are you looking for here? Bring your makbak and go back off me." "How am I going to walk?" Asked Manarmakeri. "You do what I tell you or you'll fall off," said the voice.
Before he made his order, the voice said again, "Do you recognize them?" Suddenly his eyes opened and visible a clean, beautiful, a lot of people, and light village. Apparently there was no poverty, hunger, persecution, war, and full freedom in there.
"Your time has not come yet to dwell in this place, because you are still in sasar (false) world. The village that you see in this is a "koreri". Bring the makbak and return it to your place," the voice commanded. Then with great curiosity Manarmakeri left that place and went back to his village. In his home he pondered about Koreri secret. Koreri is when people experience a new life which is full of freedom and happiness.
On the following day, Manarmakeri heard that Mananwir’s son (village chief) found an old Manswar (cassowaries) with a beautiful girl in a cape. The cassowary sat in the sea and let the small fish came on the coat, then it got back to the shore and wiggled its body so that the fish fell on the sand. Then a girl appeared suddenly from behind a shrub and picked up the fish and put it in inawen (a kind of basket). Then the little girl was riding on the back of Manswar and they both disappeared.
Mananwir’ son was fascinated to see by the beautiful strange girl. He described the incident as well as his desire to marry a beautiful girl to her father. Then his father asked all the villagers in Sopen for help in finding and capturing the old Manswar with the beautiful girl who was hiding around the cape, which was not so far from the Sopen village.
All of strong men throughout the village were gathered at Mananwir’s home to receive the mandate to immediately capture both the strange creatures. Mananwir promised, "For those who can capture the strange beauty and bring her to my house, then he has the right to marry my youngest daughter." Hearing that promise, the boys soon formed a besieger army.
In the spirit of the passionate, the army left the village towards the cape to find their hiding place, the cassowary and the girl. They surrounded the whole cape and narrowed the army circle with cheers, but they failed their calculations. The old cassowary succeeded to get away with the beauty.
Capturing effort failed on the first day. The troops returned home. They regrouped and planned new tactics to surround and capture the girl. The next day, troops surrounded the cape with the new tactic, but the effort failed as the first day.
Then they gathered in rumsram (the house where the men gather) to evaluated the failure and planned on how to capture them on the following day. Apparently, the old man (Mananarmekeri) passed in front of the young man who sat in rumsram. "Oi, young people, what are you talking about?"
Some of them explained about the work they were doing. Hearing their explanation, Manarmakeri offered himself to join the search. But the offer was just a joke for the youth. "Even the young and strong are unsuccessful to besiege and capture the cassowaries and girls, how could you who are full of mange and old do this ...," said one young man. There is also an insult to Manarmakeri, "Cis, we are the young and strong are not up to it, what can an oldman with scabies do?, you’d better waste your time to repel flies and peeling scabs from your stinky body."
Hearing those painful words, Manarmakeri canceled his offer to participate in the third day. He wanted to see what the result of the effort on that day. The third day siege effort was zero result. Mananwir’s son kept on missing her. His face was more gloomy and despairing to see the failures experienced by the troops. Seeing the village chief’s son, the young men began to feel embarrassed. Then, they ran out of tactics to capture the girl.
The only way for the youth was to seek for help to the hobatan to find a way to defeat the mystical power of the two creatures. But one young man proposed to try one last time. For this occasion without further ado and bargains, Manarmakeri took part in the siege troops on the fourth day. The whole squad was composed of several layers and wrapped around the cape. Now there was no more gap escape. Mananarmakeri took place on a muddy mangrove areas.
The siege and thunderous cheers and shouts of the troops was heard. The cassowary and the beauty were stuck. There was no other way, the only way to escape is through muddy mangrove areas which were certainly not supervised by the youth. Secretly cassowary was passing through the muddy area, but unluckyly. His legs were restrained by mud and slowed down. Manarmakeri, who had hidden in the place, could easily track down the girl from the back Manswar and squeezed her with all his strength so she did not have time to escape. While Manswar had a chance to get away into the woods. Since the incident in Biak, there was no more Manswar (cassowaries) till today.
Manarmakeri enthusiastically took her maiden to Mananwir Sopen. However, as a gift is not the youngest daughter as he promised before, but a pig. He calmly accepted the gift and gave it to his brothers to burn on rocks (barapen). Manarmakeri allowed them to take logs, taro, banana leaves and vegetables in his garden, Yamnaibori. They made barapen in the woods nearby Manarmakeri’s garden. After finishing cooking, the pork with vegetables were spread to all relatives in the Sopen village. Manarmakeri’s hope to get a good part of pork had gone. He (Manarmakeri) was given only the skull that had no meat.
"Why my own brothers treat me like this. They do not respect me as a human. I've helped the village chief caught the cassowary princess. The prize was not the youngest daughter. Given only a pig. Not only that. Pigs had been giving in good manner to my brothers to be cooked, even firewood, taro, and the cooked vegetables were taken from my own garden. Finally, I was only given a part that is inappropriate." Mananarmakeri felt totally unappreciated as Sopen villagers. Lastly, Manarmakeri took the decision to leave his beloved village.
So the next day, early in the morning before the villagers woke up, Manarmakeri prepared a small boat. He did not forget to bring a paddle, konarem (water bucket) and his wand. On the way the Wambrau (West) wind was blowing strongly and causing big waves, so he had to land in the Maundori village. But he was unable to because a lot of coral. Finally he took his wand to scratch the corals and a canal appeared.
Through the canal, he was able to land. After the wind subsided he went on his way down the beach. When approaching the Sorido village, he caught a fish and brought it to his napiremnya (cousin) home named Padawankan in Mokmer village. After the fish was cooked then it was shared without remembering his wife. His wife asked her part which was already washed-up. She was angry and her anger was heard by Manarmakeri. He went to say goodbye and carried on his wandering to Meokbundi.
After Manarmakeri arrived in Meokbundi. He was going to do a job that he loved, it was tapping sap (coconut sugar). He asked the residents of Sokani for coconuts, but was not given. Manarmakeri took coconut sprout and planted it. The coconut which had been planted had a magical growth. Soon, the coconut was grown up and already to be tapped. Manarmakeri lived by tapping sap (saguer).
One day he found that the sap that he had been cultivated, was stolen. He asked everyone about it, but no one claimed. By perforce he lurked to catch the thief. On the first night he was on guard under the tree. The next day he found the sap was stolen as well. For the second night, he made pora-pora (kaderen) amid the coconut trees, then he preserved it. However, the thief was still able to steal the sap. He kept wondering how they could do it.
On the third night, as he was so curios and angry, he climbed up and hide in the middle of branches and coconut leaves. All night he had stayed up with fortitude. Ahead the daybreak, the thief came down from the sky to the top of a coconut tree. Manarmakeri tried to catch the thief and there was a fierce struggle. After battle turned out the thief was recognized as Makmeser or Sampari (morning star). "Please let go of me because the sun will rise," said Sampari. However Manarmakeri did not let him go. "I will never let you go until you give me what I had desired all this time," said Manarmakeri.
The star had mentioned many things in this world, but still some had not been mentioned yet, so Manarmakeri remained silent and did not let the star go. "Say now, what do you want,' said Sampari, "Give me "koreri syeben",” pleaded Manarmakeri. “As the sun rises I grant your wish and now you have your koreri. When Insoraki the commander Rumbrak’s daughter goes to the beach and bathes with her friends, then pick some bintanggur fruit (fruit of Mars trees) and throw it into the sea. You will see something happen to Insoraki and it is Koreri incident," said Sampari.
After a couple of days, he saw some girls were bathing at the beach. Manarmakeri quickly left and hid behind a Mars tree (bintanggur). He watched the each of the girl and found the most beautiful one that was Insoraki.
He picked the bintanggur fruit and threw it into the sea. Fruit was washed away and touched Insoraki’s breast. Insoraki shocked, she picked the fruit and threw it back to the shore. The event was repeated up to three times continuously. After the incident, Insoraki felt there was there was something wrong within herself. Her parents shocked by knowing their daughter's pregnancy. They asked it to residents of Meokbundi, but no one knew. Insoraki was dreamy with what happened to herself as she never hung out with the boys. A boy was born from her pregnancy. As the newborn boy was perceived to bring change and peace, they named it Manarbeu (the pacifier).
The boy’s growth was so fast and was able to talk. Whenever he cried he always asked who his father was. One day they got together and agreed to hold a Wor (a big party). By holding the party, Manarbeu could appoint anyone to become his father. On the appointed day the guests had arrived and the show would begin. Insoraki and her son were sitting in the front so that Manerbeu could determine his father.
At the party the youth were required to walk in over Insoraki and her son. But no one was recognized by Manerbeu. In last procession, Manarmakeri came up in the line for the elders. Manarmakri queued on the last line. Manarmakeri who was full of scabies and holding a wand in his hand and a sprig of leaves for fly repellent. When he passed in front of the mother and the child, Manerbeu immediately pointed straight to him and said, "Mom that’s Daddy!"
When the child wanted to hug him, Insoraki held her son in disgust at Manarmakeri’s full of mange body. Manarbeu succeeded to escape from his mother's grip and reached his father. Because Manarmakeri humiliated and expelled by the citizens, then they left the village. Finally, Insoraki followed them along heading west.
On their way to the West, Manarbeu suddenly wanted to play sand on an island with white sand that suddenly appeared. After Manarbeu satisfied to play, they sailed along the side of the island, leaving Yapen and Supiori Island more far westward. During the trip, suddenly appeared a small island above sea level and it was growing bigger and bigger. Apparently the island is greater that the islands that had just been left and not mountainous. Manarmakeri’s karures boat sailed down the coast of island till came down to a small island and Manarbeu was eager to play more sand on the island. Because he continued to whine to play, by perforce the boat was anchored and Manarbeu could play in the sand.
The Journey was carried on. Arriving in a big island which apparently had not been inhabited by humans. Manarmakeri took four rods stick and plugged them on the sand and then he recited his charms. After reading the mantras, the four sticks turned into four local tribes, the island was later known as the Numfor Island. Manarmakeri warned them of whenever one of them died, it should not be mourn for they would be resurrected. If they obeyed the order, they would live in harmony, peace, and abundance.
In fact they did not obey what was said by Manarmakeri. As of them died, they cried for him. It really made Manarmakeri disappointed. Besides, when they lack of the food they sailed to the island of Yapen and exchanged fish with sago which was contrary to what was commanded by Manarmakeri. The incident made him disappointed and felt his presence in the area was not appreciated. He reminded his experiences in Sopen village, then Meobundi Island, in the Krawi village and the last one in Numfor Island.
Manarmakeri did not like living in that island. He took the decision to leave the people and his own land to seek for a safe and quiet place. He left that place to go to another place of tranquility and peace. He obtained the secret of eternal life and he wanted to share it to his fellow man but they would not understand, that is why he is gone. He went for a while back bringing a new abundance life and eternal peace as what was promised by sampari (the morning star). He left several messages to the people not to murder, not to steal other people's property, and prepared a large house to save the wealth that would come from the west.
Having instructed the people, Manarmakeri with Insoraki sailed to leave the place. But their son Manarbeu looked so busy playing beautiful white sand. When Manarmakeri asked him to get into the boat Manarbeu refused him. He was exciting to play as if the sands was his friend that he did not want to leave. To outsmart his son, Manarmakeri threw a piece of wood that then turned into a snake. Seeing the snake, Manarbeu scared and immediately got into the boat. Since then the snake could breed well in Numfor Island and today the island is known as an island filled with snakes.
For the umpteenth time Manarmakeri should leave his people. The boat left the Numfor Island for heading west. He crossed the straits and seas along the coast of the islands. Manarmakeri used to stop at a group of islands which is now known as the Raja Ampat archipelago. After some time living and spreading his fluency, he continued his journey westward. Since his departure until now he has not come back. According to the message left, he would return at some point to bring peace, property and food abundance. "When I come back, sampari will be waving from the edge to the end of the island on this land."
 

No comments:

Post a Comment